Kamis, 16 Oktober 2008

The Importance of Information Technology for Student.

Good morning ladies and gentlemen,
Thanks to our god for giving us healthy.
Ok, my name is Bramanti Nadya Kausara, I am from Sokanegara I elementary school Purwokerto.
I would tell you about The Importance of Information Technology for Student.
The government have decided 2015 as millennium development goals era or we call it globalization era, following the increase the quality of human resource in many field. In educational field it should be create good quality generation. So the introduction of knowledge and technology are given to the elementary students.
Internet is one source that can help student to know the knowledge and technology. It is a connection system inters the computer network which is widely open. This system can help student to get a lot of information about everything. One of the examples is the students can get supplement material for school from the internet and the student also can collect data and information that base on the school task.
Beside internet makes communication easily and quickly. Internet also can rise up student’s performance in school. Knowledge which is get from the internet can be maximizing the potential of student, so they can be a good generation.

I think that’s all from me and I hope it will give us some advantages
If there is a mistake please for give me, thanks’ for your attention.
Good bye.

Bramanti Nadya Kausara
Kelas 4 SD
Teks Lomba Pidato Bahasa Inggris Tingkat SD di SMPN 2 Purwokerto

Cerpen: Melihat Cahaya dari Balik Jendela

Adzan dzuhur berkumandang, Wisnu beserta teman-temannya segera mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat di masjid Jamiatul Ikhsan di Pondok Pesantren Nur Iman, letak pondok pesantren itu tidaklah jauh dari sekolah Wisnu. Tiga hari kedepan Wisnu dan teman-temannya akan mengikuti serangkaian kegiatan Rohani Islam “rohis” di bulan Ramadhan, dan Wisnu menjadi ketua rohis untuk kegiatan kali ini.
Setelah selesai shalat berjamaah dengan para santri pondok pasantren yang jumlahnya berkisar 400 santri, Wisnu dan teman-temannya segera masuk ruang pertemuan untuk mengikuti ceramah yang akan disampaikan Abu Faiz, pengasuh pondok pesantren. Abu Faiz akan berceramah tentang Zakat. Sebelum menyampaikan materi, Abu Faiz tiba-tiba meminta pada para peserta untuk mendoakan 21 korban insiden pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur. Semua peserta pun larut dalam doa. Terlihat jelas gambar kesedihan di wajah mereka. Tidak luput, airmata Wisnu pun luruh dan bergulir membasahi wajahnya sebelum jatuh di pangkuan. Wisnu merasakan kesedihan yang menyesakan dadanya, kesedihan yang telah lama dikenalnya, kesedihan yang telah lama ditinggalkannya, tapi tiba-tiba hadir kembali.
Airmata Wisnu semakin mengalir deras tatkala ia melihat rekaman video insiden pembagian zakat di pasuruan yang ditayangkan panita lewat sebuah proyektor. Wisnu tidak kuasa melihat kejadian mengenaskan itu. Kesedihan yang akut semakin jadi mengobrak-abrik jiwa Wisnu.
“Semestinya semua itu tidak terjadi,” kata hati Wisnu yang semakin tersayat, ketika menyaksikan sekelompok ibu-ibu dan nenek-nenek yang kehabisan nafas di antara ribuan orang yang mengantri pembagian zakat dari seorang saudagar kaya, H. Syaikon.
Perasaan Wisnu semakin tidak menentu, nuraninya ingin sekali memarahi saudagar kaya itu. Saudagar kaya yang menurut Wisnu sombong, sepertinya berzakat adalah cara untuk menunjukkan kekayaannya pada orang lain, sebab jika ia mempercayakan zakatnya Basiz pastilah tidak akan ada nyawa yang melayang.
“Sungguh tidak manusiawi, 21 nyawa melayang demi uang sebesar 20 ribu. Apakah Tuhan akan menerima amal zakat seperti ini?” tanya hati Wisnu.
“Wis, kenapa kau tampak begitu sedih?” tanya Amin, sahabat dekatnya, yang duduk disampingnya, Wisnu pun tersentak kaget dari lamunannya.
“Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang paling kita sayangi, kehilangan yang disebabkan oleh sikap sombong orang yang sok dermawan, kehilangan dari peristiwa yang seharusnya tidak sampai merenggut nyawa” jawab Wisnu terbata-bata sambil mengusap airmata yang terus membasahi wajahnya.
Amin terdiam. Amin tidak punya keberaniaan untuk memberikan pertanyaan kepada wisnu. Amin merasakan kesedihan dan penderitaan yang tengah berkecamuk di dada sahabatnya, penderitaan dan kesedihan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang tengah mengalaminya. Amin tahu pasti apa yang ada dalam benak sahabat dekatnya itu: Wisnu pasti teringat ibunya yang telah meninggalkannya saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia membiarkan sahabatnya menangis, menumpahkan semua kesedihan dengan airmata, karena airmata adalah bahasa kesedihan manusia yang paling purba.
Tidak lama setelah pemutaran insiden pembagian zakat yang mengenaskan tersebut. Abu Faiz memberikan uraian tentang; makna dan prosedur pembagiaan zakat yang disukai Allah. Penjelasan Abu Faiz sangat menarik, sehingga para peserta pun antusias mendengarkannya. Semua peserta seperti terhipnotis; Abu Faiz sungguh ustadz yang luar biasa.
Tapi, di antara para peserta yang konsentrasi menyimak penjelasan Abu Faiz, Wisnu adalah peserta yang sudah kehilangan konsentrasi. Kesedihan Wisnu membuatnya kehilangan keseimbang, seolah-olah ia sedang hidup di masa lalu, masa yang telah dilalui dengan berat karena ia telah kehilangan ibunya.
Wisnu tersentak kaget ketika ceramah Abu Faiz selelesai dan acara dilanjutkan dengan tanya jawab.
“Astafirullah,” Wisnu bergumam, insaf atas kelalaiannya membiarkan pikirannya diseret ke masa lalu, sampai lupa tujuan hakikatya ia mendengarkan ceramah dari Abu Faiz.
Selama sesi tanya jawab berlangsung, para peserta antusias mengajukan berbagai pertanyaan seputar zakat. Sampai tidak terasa adzan asar berkumandang, tanda acara ceramah dari Abu Faiz ini berakhir. Para peserta pun meninggalkan ruang pertemuan. Mereka mengambil airwudu dan bergabung dengan para jamaah lain untuk shalat.
Selama berada di tengah para santri pondok pesantren Nur Iman, Wisnu dan teman-temannya merasakan kebersamaan yang begitu akrab, sekalipun di anatar mereka baru saling mengenal. Sungguh indah Islam itu, kebersamaan terasa keindahan hakikinya bila diikat oleh keimanan. Inilah bukti bahwa persaudaraan hakiki manusia adalah persaudaraan yang dilandasi pada agama: Islam.
Dalam khusuknya shalat, tiba-tiba Wisnu kembali menitikkan airmata. Ia kembali teringat pada ibunya yang telah bertahun-tahun lamanya meninggalkannya. Di setiap gerak shalat, Wisnu seakan melihat bayangan ibunya berjalan di hadapnnya; ibuny berjalan tenang dengan dihiasi cahaya yang sangat indah. Wisnu tersentak kaget ketika bayangan ibunya seakan-akan menyebut-nyebut namanya, “Winsu anakku tercinta.”
Namun demikian, Wisnu berusaha tetap menjaga shalatnya untuk tetap khusyu, meskipun sesungguhnya hatinya benar-benar ingin menangakap bayangan ibunya. Betapa Wisnu menginginkan ibunya kembali untuk membimbing dan memberi kasih sayang. Wisnu ingin ibunya menunjukkan jalan yang bisa mengantarkannya pada kebenaran di dunia yang fana ini.
“Ya, Allah, maafkanlah aku bila shalatku kali ini tidak benar-benar khusyu. Aku benar-benar sangat merindukan ibuku. Aku kirimkan doa dan fatiha untuknya, semoga Engkau selalu melindungi ibuku,” doa Wisnu saat shalatnya selesai.


.....


Malam harinya; pukul 23.00, setelah selesai melakukan rangkaian ibadah ramadhan, para peserta dipersilahkan untuk beristirahat di kamar masing-masing. Segera Wisnu dan amin masuk kamar berukuran 3 X 3 meter yang sangat sederhana namun rapi. Di dindingnya terdapat kaligrafi lafadz bismillah dan ayat kursi, serta rak buku yang dipenuhi dengan kitab-kitab.
Mendapati bantal dan kasur lantai Amin langsung tertidur pulas, sedangkan Wisnu tidak bisa memejamkan mata. Wisnu masih dihantui oleh bayangan ibunya.
Malam semakin larut sehingga cahaya bulan semakin memudar dan gelap pun menyebarkan jalanya di setiap sudut bumi, dan gelapnya malam semakin menambah kegelapan ruang hati Wisnu. Wisnu merasa semakin diteror oleh kegelisahan-kegelisahannya. Wisnu berusaha memejamkan matanya, tapi tetap tidak bisa, meskipun doa-doa sudah dipanjatkan.

Setelah bayangan ibunya mengobrak-abrik jiwanya, kini Wisnu tiba-tiba teringat dengan bapaknya. Sampai sebesar ini Wisnu belum pernah bertemu dengan bapaknya, meskipun kata pamannya, orang yang mengasuh dan membesarkannya, bapaknya masih hidup dan pergi meninggalkannya saat ibunya mengandung dirinya. Tapi, Wisnu tidak ambil peduli dengan keberadaann bapaknya, sepanjang hidup Wisnu justru yang paling dirindukannya adalah ibunya. Ibu yang telah mengandunganya selama sembilan bulan dan memberikan kasih sayang yang luar biasa.
Tapi yang selalu menyesakkan hati Wisnu adalah kenapa ibunya harus meninggal dari sebuah peristiwa yang sederhana, peristiwa yang seharusnya tidak membuat ibunya meninggalkanya untuk selama-lamanya.
Karena kondisi yang terlalu capek, Wisnu pun akhirnya terlelap tidur. Dalam tidur yang penuh kegelisahan itu, Wisnu bermimpi; ibunya datang mememuinya sambil menahan isak-tangis. Ibu Wisnu membisikkan nasihat padanya sembari membelai buah hatinya.
“Wahai anakku, jangan karena ibu telah tiada kau menjadi anak nakal. Ibu slalu ada dihatimu untuk menjagamu. Jadilah anak yang berbakti.”
Wisnu tersentak kaget dan bangun dari tidurnya yang sebentar itu. Dua sudut mata Wisnu pun mengalir air bening, Wisnu merasakan benar kehadiran ibunya yang seakan sedang memeluknya dari belakang, Wisnu bahkan masih terngiang apa yang telah dibisikkan ibunya.
Jarum jam menunjukkkan pukul tiga malam, Wisnu segera bangun dan keluar dari kamarnya. Wisnu berjalan pelan menuju masjid untuk shalat tahajjud. Saat berada di halaman masjid yang begitu luas, Wisnu menghentikan langkahnya dan diam mematung, dipandanginya setiap penjuru halaman depan masjid yang begitu luas. Wisnu tersentak kaget ketika ia seperti merasakan kejadian tragis yang pernah dialaminya; Wisnu yang masih anak-anak melihat ibunya terjatuh dan terinjak-injak saat ngantri dalam pembagian zakat di desanya, di halaman masjid seperti inilah Wisnu terakhir melihat wajah ibunya.
Wisnu pun menangis sejadi-jadinya, tubuhnya bergetar merasakan penderitaan yang sangat berat. Tapi, tiba-tiba Wisnu merasa seperti tubuhnya ada yang memeluknya. Wisnu tersentak kaget karena kehangatan pelukan yang sedang dirasakannya sama seperti pelukan ibunya di masa lalu.
“Bu...” Wisnu memanggil lirih dengan diiringi butiran-butiran airmatanya yang beguguran dari kelopak matanya.
Wisnu sekarang mendapatkan kenyataan yang tidak pernah dipahami bahwa ternyata ia tidak pernah kehilangan ibunya, sekalipun ibunya telah tiada. Wisnu yakin bahwa Ibunya slalu berada dihatinya untuk menjaganya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Wisnu pun teringat dengan hidupnya yang telah banyak menyia-nyiakan waktu hanya untuk memikirkan kemalangannya dan membuatnya menjadi anak nakal. Saat ini Wisnu telah menyadari kenakalannya yang terdahulu, di mana waktu dulu ia tidak dapat menghargai waktu. Waktunya selalu diisi hanya untuk mengembangkan kenakalan yang membuatnya tidak berharga. Sekarang Wisnu sadar jika ia tidak bisa menghargai waktu, maka waktu juga dapat membuat manusia menjadi tidak berharga.
“Alhamdulillah ya Allah… Engkau memberikan kesempatan untuk memanfaatkan waktuku di pesantren ini.”
Wisnu kembali melangkah menuju masjid dengan terus merasakan kehangatan pelukan dan kasih sayang ibunya yang telah tiada.
.....


KARYA : Ari Sudarsono (3mp1-2008)
SMK WIWOROTOMO PURWOKERTO
Juara I Lomba Cerpen Islami antar Siswa SMU/MA/SMK se-eks Karesidenan Banyumas